Pengalaman Naya Mengajar Bahasa Inggris di Polandia

“Hey, *Edyta! Shall we have class today?”

“Yes, 4 pm as usual. My kids, my husband, and I are waiting for you!”

“Great! I will be there in an hour by bus. See you!”

Dengan jaket panjang, kaos kaki dua lapis, dan boots tebal saya berjalan, setengah berlari, menuju halte. Salju menutupi jalan, dan suhu udara -11’C. Jam 14.30, langit sudah menjadi kanvas oranye dan ungu. Saya harus sampai halte sebelum gelap, sebelum udara semakin dingin.

Desember 2020, setiap hari Selasa dan Kamis, saya berjalan sekitar 1 km dari Dom Studentki Nr. 2 di Ul. Adama Mickiewicza ke halte bus Katarzyna untuk naik bus ke Zlotoria, sekitar 12km dari dorm. Ketika bus datang, saya dapat bernapas lega. Setidaknya selama 30 menit, saya bisa menikmati heater dalam bus, cek HP, dan mempelajari kembali materi yang akan saya ajarkan nanti, C1-level English untuk Aleks, anak Edyta. Setelah les, biasanya suami Edyta sudah menyiapkan hidangan lezat untuk lunch, dan mereka selalu memaksa saya untuk ikut makan. Katanya hari itu dia akan masak sup khas Polandia untuk saya, Zurek.

Di sela-sela membaca materi, saya melirik pemandangan yang berubah dari gedung kota ke perbukitan di desa. Zlotoria terletak di Zona II, mengikuti lekuk sungai Vistula ke arah selatan, di luar kota Torun. Saya turun di halte Zlotoria dan berjalan ke rumah Edyta. Hanya sekitar 7 menit, namun terasa lama karena salju tebal yang menghambat setiap langkah dan udara yang jauh lebih dingin di desa ini. Memang perjuangan.

Semua itu terbayar dengan senyum dan pelukan hangat dari Aleks, bocah jenius berumur 12 tahun yang hobi baca kumpulan cerita Edgar Allan Poe dan novel Stephen King. Setelah menyapa keluarganya, kami duduk di meja ruang belajar dan mulai mengerjakan soal-soal untuk persiapan olimpiade bahasa Inggris.

Satu setengah jam kemudian, kami dipanggil untuk makan bersama di ruang tengah. Tidak bisa menyembunyikan lapar, saya lahap habis semua yang disajikan: Zurek, roti, buah, salad, dan Kompot (minuman rebusan buah khas Polandia). Kenyang itu nikmat buat anak rantau. Setelah itu, saya pamit dan Edyta mengantar saya ke halte untuk naik tram. Masih ada kelas berikutnya di Księżycowa. Hari masih panjang, dan saya akan pulang larut malam. Tugas kuliah masih banyak, belum lagi revisi tesis yang sudah lama menunggu.

Tapi nggak apa-apa. Mengajar itu hobi. Dari SD saya sudah hobi main sekolah-sekolahan bersama adik-adik saya – saya guru, mereka murid. Kalau bikin program waktu organisasi, pasti saya bikin proyek ngajar. Sampai S2, maunya belajar bahasa Inggris lebih lanjut untuk apa? Ya untuk jadi guru Bahasa Inggris.

Tidak terbayangkan bisa sampai ke Polandia. Kok belajar bahasa Inggris di Polandia? Sampai dosen saya di program Master of English Studies, Nicolaus Copernicus University, heran. Beasiswa NTB yang memberikan saya kesempatan emas untuk merasakan pendidikan di luar negeri, di beberapa negara pilihan, dan saya maunya belajar di Eropa. Kenapa tidak, di negara yang berulang kali menang Nobel Prize in Literature dan terletak strategis di jantung Eropa?

Tapi yang memang lebih tidak terduga adalah saya, orang Indonesia, mengajar bahasa Inggris untuk Bule. Nggak kebalik ya? Kok bisa? Begitulah stigmanya. Dulu saya yang belajar dari bule, dan stereotype-nya ya orang timur belajar bahasa barat dari orang barat, ya kan? Sekarang, setelah lulus program MA English Studies bulan Juli 2021, saya bisa bekerja untuk perusahaan Eropa yang menyediakan les bahasa Inggris untuk karyawan perusahaan besar di Polandia. Bukanlah pemandangan yang biasa, dan saya sempat merasa minder. Tapi pengalaman mengajar anak-anak ketika masih kuliah sangat membantu saya.

Berawal dari keinginan saya untuk mencari penghasilan tambahan untuk bantu orang tua, saya memberanikan diri untuk mendaftarkan diri di yayasan social untuk imigran demi mencari kerja. Tidak lama kemudian, saya ditawari mengajar bahasa Inggris untuk 2 orang anak. Gajinya 35 zloty per pertemuan (sekitar Rp120.000 waktu itu). Sebenarnya dikurangi ongkos tram atau bus ke ujung kota tidak seberapa, dan hanya 2 kali seminggu. Tapi saya bersyukur dapat kerja. Saya jalani sampai suatu saat klien saya menawarkan agar saya mengadakan English Summer Camp untuk anaknya dan teman-temannya. Saya dibayar 2000 zloty untuk 4 anak selama seminggu belajar bersama mereka sambil rekreasi keliling Torun. Lumayan sekali, seperti tambahan LA beasiswa satu bulan.

Tuhan Maha Baik. Murid saya berprestasi dan saya mendapatkan ulasan yang bagus. Akhirnya saya mendapatkan tawaran lagi dari teman saya. Tapi jauh, di Zlotoria. Saya memberanikan diri untuk menerimanya meskipun saya sebenarnya orang rumahan dan naik tram atau bus aja sering kesasar karena saya sedikit buta arah. Berbekal Jakdojade (app transportasi di Polandia) dan Google Maps, saya nekad keliling Torun, bahkan jauh melintasi perbatasan, agar bisa bertemu murid. Hobi saya mengajar berhasil mengalahkan mager saya.

Memang, mengajar orang Polandia itu menantang. Bahasa Polandia saya masih sebatas kosa-kata untuk kenalan dan tanya harga. Jadi saya sering pakai Google Translate. Kalau itu gagal, saya pakai bahasa universal – semacam kombinasi gestur saya yang aneh dan tunjuk-tunjuk gambar di layar HP atau LCD. Tapi ternyata banyak hikmahnya. Hal ini memaksa saya dan murid saya berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Justru mereka jadi lebih disiplin dan cepat belajar.

Selain itu, saya harus mempelajari pop-culture di Polandia. Saya rajin mendengarkan lagu dari penyanyi terkenal di Polandia (akhirnya jadi salah satu playlist saya di Spotify) yang disukai murid saya. Saya juga rajin nonton film yang ditonton murid saya di Netflix, atau baca buku yang dia baca. Hal ini saya lakukan agar perbedaan budaya dan usia kita dapat dijembatani dengan pembicaraan tentang hal-hal yang dia sukai. Alhasil, semua murid saya dekat dengan saya dan menjadi keluarga. Hampir setiap kali saya pulang, saya membawa toples berisi makanan yang cukup untuk dibagikan ke teman-teman.

Setelah mengajar selama satu semester, tidak hanya di Polandia tapi juga di Indonesia dan negara lain secara online, tabungan saya cukup untuk mendapatkan keamanan finansial. Saya sempat membayangkan aset yang dapat saya beli atau bisnis yang dapat saya kembangkan ketika pulang nanti. Namun, Tuhan punya rencana lain. Pandemi semakin parah, keluarga saya kena PHK, dan orang tua saya tidak dapat melanjutkan kontraknya di tempat kerja. Saya mendadak jadi tulang punggung keluarga.

Tuhan Maha Pengasih. Pundi emas kecil yang saya tabung dari mengajar menjadi penolong di saat-saat berat ketika orang tua saya kena COVID dan harga kebutuhan dasar meroket. Meski 30 zloty per pertemuan bisa habis untuk makan 1 orang sehari di Polandia, di Lombok Timur, tempat orang tua saya, uang sejumlah itu bisa memberi makan 3 kali sehari untuk satu keluarga. Rasa rindu bercampur khawatir saya terobati karena, sekurang-kurangnya, saya dapat menolong keluarga saya dari jauh. Ketika klien saya tau kondisi saya, mereka menambah jam kelas agar fee saya lebih banyak, merekomendasikan saya ke orang lain, dan semakin memperhatikan saya. Bahkan mereka mengantar saya pulang naik mobil, jauh-jauh dari rumah mereka, ke dorm agar saya tidak perlu keluar biaya transportasi dan kedinginan di tengah salju. Saya sangat terharu.

Memang sangat menantang untuk belajar, mengerjakan tugas, menyelesaikan skripsi, sekaligus mencari uang di negeri orang. Tapi saya juga melihat upaya teman-teman seperjuangan yang nge-Grab atau kerja sebagai kasir di restoran. Saya menjadi semangat. Apalagi ternyata sangat penting untuk jaga-jaga. Kita tidak tahu kebutuhan di masa depan atau apakah kita akan menjadi jalur berkat untuk orang lain.

Selain itu, pengalaman bekerja, sekecil apapun, untuk siapapun, tidak boleh diremehkan. Sekarang saya lebih banyak mengajar orang dewasa, dan jadwal saya padat selama hampir seminggu. Tekanannya dan tuntutannya lebih tinggi. Namun, pengalaman kuliah sambil kerja mengajar saya untuk memanajemen waktu. Selain itu, saya belajar banyak hal dari murid saya tentang budaya dan kebiasaan orang Polandia. Saya yang biasanya cenderung pendiam dan awkward bertemu orang baru akhirnya mudah berinteraksi dengan klien saya.

Yang terpenting, setiap kali saya berinteraksi dengan murid saya, saya menambah jalinan persahabatan dengan mereka. Sekarang, meski saya jauh di benua yang lain dan timezone berbeda, kami tetap berkomunikasi dan belajar secara online. Dan walaupun mereka nanti harus berhenti les, tidak apa-apa. Tidak ada mantan murid. Mereka semua teman baik, bahkan keluarga bagi saya.

*Semua nama disamarkan untuk menjaga privasi murid.

Foto Naya di kampus Nicolaus Copernicus University
Naya bersama teman dan murid-muridnya
Naya bersama Hendra saat memperkenalkan Indonesia kepada murid-murid SMA di salah satu sekolah Polandia

Tentang Penulis

Walissa Tanaya Pramanasari adalah lulusan MA English Studies di Nicolaus Copernicus University, Torun, Polandia. Perempuan yang akrab disapa Naya ini berkerja sebagai instruktur Bahasa Inggris di Future Centre EU sejak 2021 dan masih aktif mengajar semua anak muridnya di Polandia. Selain mengajar, Naya juga aktif mengadakan kegiatan sosial dan pembinaan desa sebagai pendiri Yayasan Youth ECCO (Environment and Climate Change Organization) Indonesia. Saat ini, dia sedang membangun bisnis “English Club” bersama rekan-rekannya di Lombok, Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published.